Laporan Anatomi dan Fisiologi Sistem Syaraf Lengkap
Laporan Anatomi dan Fisiologi Sistem Syaraf Lengkap
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar
Belakang
Sistem
saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar (sistem
saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur
oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur
otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi
keringat. Di dalam sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal
dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang
bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur
membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang
terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada
pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion(1:55)
Sistem
saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf
parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik
terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak
di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga
mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat
pra ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ (1:55)
Adapun
tujuan dilakukannya percobaan ini, karena bahan yang digunakan merupakan suatu
sediaan farmasi, berupa larutan injeksi yang
biasanya digunakan oleh manusia, dan kita juga dapat mengetahui, efek
yang terjadi pada manusia, setelah dilakukan percobaan, dan mengkonversi obat
dari hewan coba mencit (Mus musculus)
ke manusia .
I.2. Maksud
dan Tujuan Percobaan
I.2.1.
Maksud percobaan
Untuk
mengetahui efek yang ditimbulkan oleh pilokarpin, adrenalin dan NaCl dengan
menggunakan kontrol positif aquadest.
I.2.2. Tujuan percobaan
Untuk
dapat memahami efek berbagai obat sistem saraf otonom dalam pengendalian fungsi
atau aktivitas organ viseral tubuh.Dan untuk dapat mengetahui efek dan
mekanisme dari obat-obat sistem saraf otonom terutama pada sistem saraf
parasimpatik.
I.3. Prinsip
Percobaan
Mengamati kerja obat
pilokarpin, adrenalin dan NaCl pada mencit (Mus
musculus) dengan melihat efek yang ditimbulkan pada mencit setelah
pemberian obat-obat tersebut pada menit ke 5, 10 dan 15.
II.1. Teori
Umum
System saraf otonom adalah system saraf yang
bekerja tanpa mengikuti kehendak dan kemauan kita. Misalnya detak jantung, mata
berkedip, kesadaran, pernafasan maupun pencernaan makanan. Menurut fungsi dan
tanda – tanda morfologinya system saraf otonom dibedakan menjadi dua yaitu,
system saraf simpatik dan system saraf parasimpatik (2:61).
Pada umumnya system saraf simpatik dan
system saraf parasimpatik bekerja berlawanan tetapi dalam beberapa hal bersifat
sinergis. Rangsangan dari susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor
memerlukan suatu penghantar yang disebut dengan neurotransmiter. Bila
rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis maka neurohormon yang bekerja
adalah noradrenalin (adrenalin) atau norepinephrin (epinefrin). Sebaliknya
apabila rangsangan tersebut berasal dari saraf parasimpatis, maka
neurohormon yang bekerja adalah asetilkolin (2:64).
Untuk menghindari akumulasi dari neurohormon
yang dapat mengakibatkan perangsangan saraf terus menerus maka neurohormon
harus diuraikan oleh enzim khusus yang terdapat dalam darah maupun jaringan.
2.1
Penggolongan obat – obat system saraf otonom
Berdasarkan khasiatnya obat-obat saraf otonom
dibagi menjadi(3:2012/04/05) :
o Obat yang berkhasiat
terhadap saraf simpatis:
1)
Simpatomimetik / adrenergik, yaitu obat yang
meniru efek perangsangan dari saraf simpatis oleh noradrenalin, contohnya
efedrin, isoprenalin dll.
a)
Efedrin
Alkaloida dari tumbuhan Ephedra vulgaris yang
sekarang ini dibuat secara sintetis. Digunakan pada penderita asma atas dasar
efek bronkodilatasinya yang lama,dekongestiv dan midriatik. Efek samping dosis
tinggi pada jantung yaitu cemas,
gelisah, sukar tidur, gemetaran dan
takikardia serta kerja sentral. Pseudo efedrin
merupakan isomer efedrin yang dikombinasikan
dengan dengan obat-obat batuk dan pilek sedangkan norefedriun adalah turunan
efedrin yang dikombinasikan dengan obat-obat asma dan batuk.
b)
Isoprenalin
Memiliki efek bronkodilatasi dan stimulasi
jantung maka digunakan untuk pengobatan dan pencegahan serangan asma. Karena
absorbsi dalam usus tidak sempurna maka biasanya digunakan dalam bentuk
sublingual, inhalasi atau spray. Efek samping dosis tinggi pada jantung adalah
berdebar, gelisah, gemetaran dan muka merah. Turunan yang paling sering
digunakan adalah feneterol, terbutalin dan salbutamol.
2)
Simpatolitik / adrenolitik, yaitu obat yang
meniru efek bila saraf parasimpatis ditekan atau melawan efek adrenergik,
contohnya alkaloida sekale, propanolol, dll.
Khasiat yang terpenting adalah stimulasi otot
polos terutama pembuluh darah perifer dan rahim dengan efek kontraksi otot
uterus (oksitosik), vasokontriksi dan tekanan darah naik. Efek samping pada
penggunaan lama dan dosis yang tinggi adalah matinya jaringan di ujung jari
(gangrein) akibat vasokontriksi. Digunakan untuk menghentikan pendarahan
setelah persalinan dan pada keadaan haid yang berlebihan.
o Obat yang berkhasiat
terhadap saraf parasimpatis:
1.
Para simpatomimetik / kolinergik
Kolenergik atau parasimpatomimetik adalah
sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh)
diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan
dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP
dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan
tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan
dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi,
antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan
tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi,
sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan
pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran
air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar
pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP
setelah pada permulaan menstimulasinya (3).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua
ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung
motoris dan di bagian Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal (3).
Reseptor ini, selain ikatannya dengan
asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh
jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan
afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat
tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1,
M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik
dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti
jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima
subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1
ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat
dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar
eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam
memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi
mungkin memacu reseptor nikotinik pula (3).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda
terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat
reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2
diaktifkan, maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan
berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase
C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfat (PIP2)
menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP3)
yang akan meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya
akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim atau menyebabkan
hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi subtipe M2
pada otot jantung memacu protein G yang menghambat adenililsiklase dan
mempertinggi konduktan K+, sehingga denyut dan kontraksi otot
jantung akan menurun (3).
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin,
dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap
awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat
reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf
pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat
yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan
tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang
terdapat pada sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik
secara selektif dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan
neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (3).
Stimulasi reseptor ini oleh kolenergika
menimbulkan efek yang menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan
sama sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan
kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul
kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan
blokade neuromuskuler(4:15)
Kolinergika dapat dibagi menurut cara
kerjanya, yaitu zat-zat dengan kerja langsung dan zat-zat dengan kerja tak
langsung. Kolinergika yang bekerja secara langsung meliputi karbachol,
pilokarpin, muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu).
Zat-zat ini bekerja secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja
utama yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium
kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali arekolin
(4:15)
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak
langsung meliputi zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin,
dan piridogstimin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel,
yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan oleh
kolinesterase, ACh segera akan dirombak lagi. Disamping itu, ada pula zat-zat
yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya parathion dan organofosfat
lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai enzim baru terbentuk lagi.
Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid beracun kuat di bidang pertanian
(parathion) dan sebagai obat kutu rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan
sebagai senjata perang termasuk pula kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin,
Soman, dan sebagainya (5 : 79).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan
dalam pengobatan glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu
amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan
dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah.
Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan
cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme
akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit
untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi
kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat
ini tidak digunakan untuk maksud demikian. Pilokarpin adalah obat terpilih
dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma
bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka
anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun
dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat
berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat
kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi.
Disamping kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek
samping. Dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP.
Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan (6 : 312)
2. Parasimpatolitik / anti
kolinergik
yaitu obat yang meniru bila saraf
parasimpatis ditekan atau melawan efek kolinergik. Semua antikolinergik
memperlihatkan kerja yang hampir sama tetapi daya afinitasnya berbeda terhadap
berbagai organ, misalnya atropin hanya menekan sekresi liur, mukus bronkus dan
keringat pada dosis kecil, tetapi pada dosis besar dapat menyebabkan dilatasi
pupil mata, gangguan akomodasi dan penghambatan saraf fagus pada jantung.
Antikolinergik juga memperlihatkan efek sentral yaitu merangsang pada dosis
kecil tetapi mendepresi pada dosis toksik.
Penggunaan :
Obat-obat ini digunakan dalam pengobatan
untuk bermacam-macam gangguan, tergantung dari khasiat spesifiknya
masing-masing, antara lain (6:313) :
ü Spasmolitika, dengan
meredakan ketegangan otot polos, terutama merelaksasi kejang dan kolik di
saluran lambung-usus, empedu dan kemih.
ü Midriatikum, dengan
melebarkan pupil mata dan melemahkan akomodasi mata.
ü Borok lambung-usus,
dengan menekan sekresi dan mengurangi peristaltik
ü Hiperhidrosis, dengan
menekan sekresi keringat yang berlebihan
ü Berdasarkan efeknya
terhadap sistim saraf sentral
ü Sedatif pada premedikasi
operasi bersama anestetika umum.
ü Parkinson.
Contoh obat (7:185) :
1)
Alkaloida Belladonna
Alkaloida yang didapat dari tanaman Atropa
Belladonnae seperti hiosiamin, atropin dan skopolamin. Didapatkan juga dari
tanaman Datura stramonium dan Hyoscyamus niger
2)
Atropin
Khasiat antikolinergiknya kuat, sedativa ,
bronkodilatasi ringan (guna melawan depresi pernafasan). Penggunaan sebagai
midriatikum, spasmolitikum asma, batuk rejan, kejang pada lambung-usus serta
antidotum yang paling efektif terhadap overdosis pilokarpin dan kolinergik
lainnya. Turunan sintetiknya adalah Homatropin dan Benzatropin yang digunakan
sebagai anti parkinson
operasi. Senyawa sintetiknya adalah metil dan
butil skopolamin yang digunakan sebagai spasmolitik organ dalam
o
Senyawa-senyawa Ammonium Kwartener
Senyawa
ini mengandung Nitrogen bervalensi 5, bersifat basa kuat dan terionisasi baik,
maka sulit melewati sawar darah otak sehingga tidak memiliki efek sentral.
Khasiat antikolinergiknya lemah dengan kerja spasmolitik yang lebih kuat dari
atropin dan efek samping lebih ringan. Penggunaan untuk meredakan peristaltik
lambung-usus dan meredakan organ dalam. Yang termasuk dalam golongan ini
adalah: propantelin, oksifenium, mepenzolat, isopropamida dan ipratropium (7:186)
II.2. Uraian Hewan
II.2.1. Karakteristik Hewan Coba (8)
Mencit merupakan salah satu hewan pengerat dan mudah berkembang biak
yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
Mencit (Mus musculus ).
Lama Hidup : 1- 2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Lama Bunting : 19 - 21 hari
Umur Disapih : 21 hari
Umur Dewasa : 35 hari
Siklus Kelamin : Poliestrus
Siklus Estrus : 4-5 hari
Lama Estrus : 12-24 jam
Berat Dewasa : 20-40 gram jantan;18-35 gram betina
Berat Lahir : 0,5-1,0 gram
Jumlah anak : rata-rata 6, bisa 15
Suhu ( rektal ) : 35-39˚C( rata-rata 37,4˚C )
Perkawinan Kelompok : 4 betina dengan 1 jantan
Aktivitas : Nokturnal (malam)
Lama Hidup : 1- 2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Lama Bunting : 19 - 21 hari
Umur Disapih : 21 hari
Umur Dewasa : 35 hari
Siklus Kelamin : Poliestrus
Siklus Estrus : 4-5 hari
Lama Estrus : 12-24 jam
Berat Dewasa : 20-40 gram jantan;18-35 gram betina
Berat Lahir : 0,5-1,0 gram
Jumlah anak : rata-rata 6, bisa 15
Suhu ( rektal ) : 35-39˚C( rata-rata 37,4˚C )
Perkawinan Kelompok : 4 betina dengan 1 jantan
Aktivitas : Nokturnal (malam)
·
Sifat– sifat mencit :
1. Pembauannya sangat peka yang memiliki fungsi
untuk mendeteksi pakan, deteksi predator dan deteksi signal (feromon).
2. Penglihatan jelek karena sel konus sedikit sehingga tidak dapat melihat
warna.
3. Sistem sosial: berkelompok
4.
Tingkah
laku:
a.) Jantan dewasa + jantan dewasa akan berkelahi
b.) Betina dewasa + jantan dewasa damai
c.) Betina dewasa + betina dewasa damai
a.) Jantan dewasa + jantan dewasa akan berkelahi
b.) Betina dewasa + jantan dewasa damai
c.) Betina dewasa + betina dewasa damai
II.2.2. Klasifikasi Hewan Coba ( 8 )
Mencit ( Mus musculus )
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class :
Mamalia
Sub Class : Rodentia
Family :
Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus
musculus
BAB III
METODE KERJA
III.1. Alat dan Bahan yang digunakan
III.1.1 Alat yang digunakan :
1. Papan datar bulat
2. Alat suntik
III.1.2 Bahan yang digunakan
Ø Pilokarpin
Ø Adrenalin
Ø NaCl
III.1.3 Hewan coba yang digunakan
Ø Mencit (Mus musculus) jantan dan
betina.
III.2. Cara kerja
1.
Ditimbang
masing-masing mencit
2.
Dicari
dosis pilokarpin dan adrenalin parental
3.
Dikonversi
dosis yang akan diberikan dari manusia ke binatang
4.
Disuntikkan
pilokarpin dan adrenalin masing-masing pada 3 ekor mencit jantan dan betina
5.
Diamati
gejala yang timbul pada hewan percobaan, seperti : diare, diuresis, tremor,
kejang, warna pembuluh darah telinga, salvias, keringat, air mata, eksoftalmus,
straub, grooming, dan lainnya.
6.
Dibandingkan
efek yang terjadi pada mencit jantan dan mencit betina .
III.2.1. Penyiapan Bahan
1. Pembuatan pilokarpin
a. Diambil cendo carpin 1 ml diadkan dengan
aquadest sampai 4 ml.
b. Diambil 1 ml dari larutan yang 4 ml,
kemudian diadkan sampai 10 ml dengan aquadest.
c. Diambil 1 ml dari larutan 10 ml, kemudian
diadkan sampai 10 ml dengan aquadest.
2. Pembuatan adrenalin
a. Diambil adrenalin 1 ml diadkan dengan
aquadest sampai 4 ml.
b. Diambil 1 ml dari larutan yang 4 ml, kemudian
diadkan sampai 10 ml dengan aquadest.
c. Diambil 1 ml dari larutan 10 ml, kemudian
diadkan sampai 10 ml dengan aquadest.
3. Pembutan NaCl
a. Diambil NaCl 1 ml diadkan dengan aquadest
sampai 4 ml.
b. Diambil 1 ml dari larutan yang 4 ml,
kemudian diadkan
sampai 10 ml dengan aquadest.
c. Diambil 1 ml dari larutan 10 ml, kemudian
diadkan sampai
10 ml dengan aquadest.
III.2.2. Perlakuan Hewan Coba
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan.
2. Dicari dosis pilokarpin, adrenalin dan NaCl
parenteral.
3. Dikonversi
dosis dari manusia
ke hewan coba
mencit (Mus musculus)
4. Ditimbang mencit (Mus musculus) yang akan diberi perlakuan.
5. Disuntikkan pilokarpin, adrenalin dan NaCl
pada masing-masing mencit (Mus musculus)
yang akan diamati.
6. Diamati gejala yang timbul pada mencit (Mus musculus) seperti miosis,
midriasis,vasokonstriksi, vasodilatasi, grooming, straub, diare, tremor,
keringat, eksoftalamus dan salivasi.
II.3 Uraian Bahan
a.
NaCl ( 9:403
)
Nama resmi :
NATRII CHLORIDUM
Nama lain :
natrium klorida
RIM / BM :
NaCl ( 58,44 )
Pemerian :
hablur heksahedral tidak berwarna atau
serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa asin.
Kelarutan :
larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7
bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 10 bagian gliserol P, sukar larut dalam etanol
(95%) P.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.
Khasiat : sumber ion klorida dan ion natrium.
b.
Pilokarpin
(9:498 )
Nama resmi :
PILOCARPINI HYDROCHLORIDUM
Nama lain :
pilokarpina hidroklorida
RIM / BM :
C11H16N2O2,HCl ( 244,72 )
Pemerian :
hablur tidak berwarna atau serbuk hablur
putih, tidak berbau, rasa agak pahit, higroskopik.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air, mudah larut
dalam etanol (95%) P, sukar larut
dalam kloroform P, praktis tidak
larut dalam eter P.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya.
Khasiat : parasimpatomimetikum, miotikum.
c.
Adrenalin
(9:238 )
Nama resmi : EPINEPHRINUM
Nama lain : epinefrin
RIMBM :
C9H13NO3 (183,21)
Pemerian : serbuk hablur renik, putih atau putih kuning
gading.
Kelarutan : agak sukar larut dalam air, tidak larut dalam
etanol (95%) P dan dalam eter P, mudah larut dalam larutan asam mineral, dalam
natrium hidroksida P dan dalam kalium hidroksida P, tetapi tidak larut dalam
larutan amonia dan dalam alkali karbonat. Tidak stabil dalam alkali atau
netral, berubah menjadi merah jika kena udara.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat berisi nitrogen,
terlindung dari cahaya.
Khasiat : simpatomimetikum.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
No.
|
Efek
|
Pilokarpin
|
Adrenalin
|
NaCl
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||
1
|
Miosis
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
Midriasis
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
3
|
Tremor
|
-
|
+
|
+
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
4
|
Esoftalamus
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
5
|
Straub
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
6
|
Vasodilatasi
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
-
|
7
|
Vasokontriksi
|
-
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
8
|
Salivasi
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
9
|
Diuresis
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
10
|
Grooming
|
+
|
+
|
+
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
-
|
11
|
Keringat
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
12
|
Diare
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
|
|
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan ini, sebelum dilakukan pemberian
obat pada hewan coba, terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat badannya, untuk
menghitung dosis bahan uji (obat) yang akan diberikan.
Setelah
dilakukan penimbangan, dilakukan perhitungan konversi pemberian obat dari
manusia ke mencit, Percobaan kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat ke
mencit, yaitu pilokarpin pada hewan coba yang memiliki berat timbangan 27 gram,
Adrenalin pada mencit II dengan timbangan 22 gram, dan NaCl pada mencit III
dengan timbangan 21 gram.
Dalam percobaan
ini yang akan diamati dalah efek simpatis dan parasimpatis yang dihasilkan
setelah dilakukan pemberian obat tersebut, dan membandingkan efek yang terjadi
pada mencit jantan serta mencit betina, pada masing-masing obat. Namun mencit
betina yang tersedia hanya 1 ekor, jadi pada mencit betina tersebut
diinjeksikan setiap macam obat, sehingga hasil pengamatan yang didapatkan
kurang valid dan tidak sesuai dengan efek yang seharusnya ditimbulkan, karena rentang
waktu yang sangat singkat serta belum hilangnya efek obat yang sebelumnya,
kemudian mencit tersebut diinjeksikan lagi dengan obat yang lainnya, sehingga
efek yang dihasilkan bervariasi. Pada percobaan ini, seharusnya yang digunakan
untuk membuat sediaan obat adalah aqua pro injeksi, karena diinjeksikan melalui
peritoneal dan harus steril, namun pada percobaan ini yang digunakan adalah
aquadest, sehingga tidak steril untuk digunakan intra peritonial dan tidak
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai injeksi.
Dari hasil praktikum yang dilakukan dapat
dilihat bahwa efek yang ditimbulkan oleh pilokarpin sudah sesuai dengan teori
yang ada, di mana efek yang dihasilkan adalah miosis dan tremor, sedangkan
untuk efek-efek yang lain yang telah disebutkan diteori tidak terjadi, hal ini
disebabkan karena pembuatan obat yang tidak steril dan tidak sesuai dengan yang
semestinya, begitu juga efek straub yang tidak seharusnya terjadi. Untuk efek
yang dihasilkan adrenalin juga sudah sesuai dengan teori yaitu efek vasokonstriksi,
midriasis, grooming dan eksoftalamus.
Untuk perbandingan efek antara mencit jantan
dan betina tidak dapat diamati dengan baik, karena mencit betina yang tersedia
hanya ada satu, sedangkan obat yang akan diberikan ada 3 macam .
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh hasil :
Bahwa, efek yang dihasilkan oleh hewan coba mencit ( Mus musculus ), dari pemberian adrenalin , pilokarpin, dan NaCl,
telah sesuai dengan teori yang telah ada .
VI.2. Saran
Sebaiknya, asisten selalu mengawasi praktikan, pada saat
melakukan praktikum, agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak
diinginkan .
DAFTAR REFERENSI
1. Pratiwi, DA. Biologi 2. Erlangga : Jakarta.1996.P.55
2.
Tan Hoan Tjay & Rahardja.Farmakologi.EGC:Surabaya.2002.P.59
3.
Anonim,
2006. Knowledge Antomi. Progam animasi
anatomi./2012/04/05
4. Amrun Hidayat. M. 2005. Alkaloid Turunan Triptofan.P.15
5.
Betram.
G. katzung. Farmakologi dasar dan klinik. EGC : Jakarta.
2004.P.79
6.
Jay,than
hoon dan kirana,raharja. Obat-obat penting. Gramedia
Jakarta. 2002.P.312
7.
Mursyidi,
achmad. Analisis metabolit sekunder. UGM : Yogyakarta.
1989.P.185
8.
Anonim.Trianandita.2011.http://
klasifikasi – hewan – coba –mencit . blogspot.com /2012/03/29
9.
Departemen
Kesehatan RI.Farmakope Indonesia Edisi III.Jakarta
1979.P.238-498.
Untuk menjadi orang sukses bukanlah hanya sekedar bermalas-malasan tetapi penuh dengan perjuangn, rintangan yang mudah untuk dilewati. yang perlu di pertahankan hanyalah kerja keras, jangan menyerah serta terus berdo'a.
0 Response to "Laporan Anatomi dan Fisiologi Sistem Syaraf Lengkap"
Post a Comment