Laporan Uji Aktivitas AntiInflamasi Lengkap Docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pharmacon (obat) dan logos (ilmu). Farmakologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan tubuh untuk menghasilkan efek terapi (therapeutic). Obat adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup pada tingkat molekuler. Pada masa lalu, farmakologi mencakup semua ilmu pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat-sifat fisik dan kimia, komposisi, efek-efek biokimia dan fisiologi, mekanisme kerja, absorpsi, biotransformasi, eksresi, penggunaan terapi, dan penggunaan lainnya dari obat. Namunn, berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa bagian dari farmakologi ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam ruang lingkup yang lebih sempit, tetapi terlepas sama sekali dari farmakologi.
Obat adalah semua bahan tunggal/campuran yang dipergunakan oleh semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah, meringankan, dan menyembuhkan penyakit. Sedangkan, menurut undang-undang, pengertian obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.
Inflamasi atau peradangan adalah upaya tubuh untuk perlindungan diri, tujuannya adalah untuk menghilangkan rangsangan berbahaya, termasuk sel-sel yang rusak, iritasi, atau patogen dan memulai proses penyembuhan. Peradangan adalah bagian dari respon kekebalan tubuh. Ketika sesuatu yang berbahaya atau menjengkelkan mempengaruhi bagian dari tubuh kita, ada respon biologis untuk mencoba untuk menghapusnya, tanda-tanda dan gejala peradangan, peradangan akut khusus, menunjukkan bahwa tubuh sedang berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Peradangan tidak berarti infeksi, bahkan ketika infeksi menyebabkan peradangan. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri, virus atau jamur, sedangkan peradangan adalah respon tubuh untuk itu.
Inflamasi adalah respon biologis kompleks dari jaringan vaskuler atas adanya bahaya, seperti pathogen, kerusakkan sel, atau iritasi. Ini adalah usaha perlindungan diri tubuh kita untuk menghilangkan rangsangan penyebab luka dan inisiasi proses penyembuhan jaringan. Jika inflamasi tidak ada, maka luka dan infeksi tidak akan sembuh dan akan menggalami kerusakkan yang lebih parah. Namun, inflamasi yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan penyakit, seperti demam, atherosclerosis, dan reumathoid arthritis. (Gard, 2001)
Inflamasi dapat dibedakan atas inflamasi akut dan kronis. Inflamasi akut adalah respon awal tubuh oleh benda berbahaya dan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pergerakkan plasma dan leukosit dari darah ke jaringan luka. Reaksi biokimia berantai yang mempropagasi dan pematangan respon imun, termasuk system vaskuler, system imun dan berbagai sel yang ada pada jaringan luka. Inflamasi kronis merupakan inflamasi yang berpanjangan, memicu peningkatan pergantian tipe sel yang ada pada tempat inflamasi dan dicirikan dengan kerusakkan dan penutupan jaringan dari proses inflamasi. (Gard, 2001)
Anti inflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang disebabkan bukan karena mikroorganisme (non infeksi), namun yang timbul sebagai respon cedera jaringan dan infeksi. Agen-agen anti-inflamasi mempunyai khasiat tambahan seperti meredakan rasa nyeri (Analgesik), dan penurun panas (Antipiretik). Setelah dilakukan riset untuk obat yang efektiftif dan efek samping minimal, maka dikenalkan obat-obat Anti-inflamasi non steroid atau NSAID (Non Steroidal Antiinflamatory Drug) yang mempunyai efek-efek Anti-inflamasi kuat. NSAID memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang). Istilah “non steroid” digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.
Cara kerja NSAID didasarkan pada penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Dengan terhambatnya isoenzym ini, maka prostaglandin yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi itu pun tidak terbentuk.
Bagian tanaman kelor memiliki substansial aktivitas anti-inflamasi. Misalnya, ekstrak akar menunjukan secara signifikan aktivitas anti-inflamasi pada kaki tikus yang diinduksi karagenan edema (Ezeamuzie et al, 1996;.. Khare et al, 1997). Selain itu, n-butanol ekstrak biji Kelor menunjukkan aktivitas anti inflamasi terhadap ovalbumin-induced peradangan saluran napas pada marmut (Mahajan et al., 2009).
B. Prinsip Percobaan
Berdasarkan induksi radang pada kaki hewan percobaan yang dilakukan melalui penyuntikan karagenan secara intraplantar setelah pemberian obat Na diklofenak secara oral pada setengah jam sebelum penyuntikan karagenan akan menimbulkan efek radang berupa udem, di mana radang kaki hewan percobaan diukur dengan pletismometer. Aktivitas antiinflamasi Na diklofenak ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi radang yang diinduksi pada hewan tersebut, yang dapat diukur dengan pletismometer.
C. Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui pengujian aktivitas antiinflamasi obat Na diklofenak dengan dosis yang berbeda pada hewan percobaan (tikus).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
Inflamasi merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing, organisme hidup atau adanya luka pada dirinya. Reaksi ini meliputi berbagai proses yang kompleks terdiri dari deretan aktivasi enzim, pelepasan mediator, pengeluaran cairan, migrasi sel, pembongkaran dan perbaikan jaringan. Proses tersebut mengakibatkan perubahan fisiologis antara lain eritema, udema, asma, dan demam (Vane dan Botting, 1996). Aktivasi berbagai enzim menyebabkan terjadinya biosintesis mediator dan release mediator inflamasi.
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang berperan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
2. plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
3. metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
4. produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
5. activating factor dan radikal bebas (Ganiswara, 2005).
Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:
1. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan
aliran darah ke tempat cedera.
2. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan.
Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan.
3. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
4. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium.
5. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi (Ganiswara, 2005).
Obat-obat antiinflamasi digunakan pada umumnya untuk mengurangi gejala-gejala atau perubahan fisiologis yang dirasakan berlebih pada kondisi inflamasi, misalnya nyeri yang tak tertahankan, rasa gatal yang berlebih, kemerahan dan bengkak yang mengganggu, walaupun inflamasi bisa merupakan fenomena menguntungkan karena merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, serta penghancuran jaringan nekrosis. Fungsi inflamasi dengan memobilisasi pertahanan tubuh dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Fagositosis pada tempat tersebut. Leukosit, makrofag dan limfosit di bawah pengaruh kemotaktik memasuki area inflamasi (fase infiltrasi). Beberapa dari sel-sel tersebut mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel asing.
2. Terbentuknya berbagai macam antibodi pada daerah tersebut. Limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang mampu mensintesis antibodi (fase proliferasi).
3. Menetralisir atau mencairkan iritan (dengan edema). Fase primer pada inflamasi adalah perubahan struktural pada dinding vaskuler. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding vaskuler (fase eksudasi)
4. Membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibri, fibrosis dan terbentuknya dinding granulasi.
5. Diikuti proses perbaikan jaringan atau penyembuhan (Ganiswara, 2005)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan :
1. Plestimometer
2. Jangka sorong
3. Spuit 1 ml
4. Spidol
5. Stopwatch
6. Sonde oral
7. Timbangan
Bahan yang digunakan :
1. Karagenan 1 %
2. Larutan PGA 1 %
3. Na Diklofenak 10 mg, 25 mg, 50 mg, 75 mg
4. Aqua pro ijeksi
5. NaCl Fisiologis
Hewan yang digunakan :
1. Tikus Putih bobot badan 100-200 gram
B. Prosedur Kerja
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Data Pengamatan
B. Pembahasan
Peradangan merupakan gangguan yang sering dialami oleh manusia maupun hewan yang menimbulkan rasa sakit di daerah sekitarnya. Sehingga perlu adanya pencegahan ataupun pengobatan untuk mengurangi rasa sakit, melawan ataupun mengendalikan rasa sakit akibat pembengkakan. Dalam praktikum ini yang digunakan untuk mengiduksi inflamasi adalah karagenin karena ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi (Vogel, 2002).
Karagenin merupakan polimer suatu linear yang tersusun dari sekitar 25.000 turunan galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber dan kondisi ekstraksi. Karagenin dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama yaitu kappa, iota, dan lambda karagenin. Karagenin lambda (λ karagenin) adalah karagenin yang diisolasi dari ganggang Gigartina pistillata atau Chondrus crispus, yang dapat larut dalam air dingin (Chaplin, 2005). Karagenin dipilih untuk menguji obat antiinflamasi karena tidak bersifat antigenic dan tidak menimbulkan efek sistemik (Chakraborty et al., 2004). Pengukuran daya antiinflamasi dilakukan dengan cara melihat kemampuan Na diklofenak dalam mengurangi pembengkakan kaki hewan percobaan akibat penyuntikan larutan karagenin 10%. Setelah disuntik karagenin, tikus-tikus memperlihatkan adanya pembengkakan dan kemerahan pada kaki serta tikus tidak dapat berjalan lincah seperti sebelum injeksi.
Karagenin sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui pelepaskan mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada saat terjadi pelepasan mediator inflamasi terjadi udem maksimal dan bertahan beberapa jam. Udem yang disebabkan induksi karagenin bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam.
Selain larutan karagenin 1 % ada beberapa penyebab inflamasi lain. Diantaranya:
1. Mikroorganisme
2. Agen fisik seperti suhu yang ekstrem, cedera mekanis, sinar ultraviolet, dan radiasi ion
3. Agen kimia misalnya asam dan basa kuat
4. Antigen yang menstimulasi respons imunologis
Mekanisme Kerja Obat
Dalam praktikum tersebut didapatkan hasil bahwa control positif yang berupa pemberian Na Diklofenak didapatkan hasil yang paling efisien, ditunjukkan dengan % efektivitasnya paling besar. Dalam hal ini Na Diklofenak mempunyai aktivitas analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Diklofenak mempunyai kemampuan melawan COX-2 lebih baik dibandingkan dengan indometasin, naproxen, atau beberapa NSAIA lainnya. Sebagai tambahan, diklofenak terlihat/dapat mereduksi konsentrasi intraselular dari AA bebas dalam leukosit, yang kemungkinan dengan merubah pelepasan atau pengambilannya. (GG Ed.11, hal 698)
Mekanisme kerja farmakologi adalah menginhibisi sintesis prostaglandin. Diklofenak menginhibisi sintesis prostaglandin di dalam jaringan tubuh dengan menginhibisi siklooksigenase; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2) (juga tertuju ke sebagai prostaglandin G/H sintase-1 [PGHS-1] dan -2 [PGHS-2]), telah diidentifikasikan dengan mengkatalis/memecah formasi/bentuk dari prostaglandin di dalam jalur asam arakidonat. Walaupun mekanisme pastinya belum jelas, NSAIA berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik yang pada dasarnya menginhibisi isoenzim COX-2; menginhibisi COX-1 kemungkinan terhadap obat yang tidak dihendaki (drug’s unwanted) pada mukosa GI dan agregasi platelet. (AHFS 2010,hal.2086).
Secara umum, natrium diklofenak bekerja dengan menghambat cyclooxygenase tidak secara selektif, yaitu menghambat cyclooxygenase 1 (COX-1) dan cyclooxygenase 2, sehingga menghasilkan sintesis prostaglandin (yang merupakan mediator nyeri).
Na Diklofenak Obat dalam Tubuh mengalami beberapa tahap yaitu :
1. Absorpsi
Diklofenak pemberian topikal terabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik, tetapi konsentrasi plasmanya sangat rendah jika dibandingkan dengan pemberian oral. Pemberian 4 g Natrium diklofenak secara topikal (gel 1%) 4x sehari pada satu lutut, konsentrasi mean peak plasma sebanyak 15 ng/ml terjadi setelah 14 jam. Pada pemberian gel ke kedua lutut dan kedua tangan 4x sehari (48 g gel sehari), konsentrasi mean peak plasma sebanyak 53,8 ng/ml terjadi setelah 10 jam. Pemaparan sistemik 16 g atau 48 g sehari adalah sebanyak 6 atau 20% jika dibandingkan dengan administrasi oral dosis 50 mg 3x sehari. Penggunaan heat patch selama 15 menit sebelum pemakaian gel tidak berpengaruh terhadap absorpsi sistemik.
2. Distribusi (AHFS 2010, hal.2087)
Sediaan oral, diklofenak terdistribusi ke cairan sinovial. Mencapai puncak 60-70% yang terdapat pada plasma. Namun, konsentrasi diklofenak dan metabolitnya pada cairan sinovial melebihi konsentrasi dalam plasma setelah 3-6 jam. Diklofenak terikat secara kuat dan reversibel pada protein plasma, terutama albumin.Pada konsentrasi plasma 0,15-105 mcg/ml, diklofenak terikat 99-99,8% pada albumin. Diklofenak pemberian topikal tidak mengalami distribusi.
3. Metabolisme (AHFS 2010, hal.2087; GG Ed.11, hal.698)
Metabolisme diklofenak secara jelas belum diketahui, namun dimetabolisme secara cepat di hati. Diklofenak mengalami hidroksilasi, diikuti konjugasi dengan asam glukoronat, amida taurin, asam sulfat dan ligan biogenik lain. Konjugasi dari unchanged drug juga terjadi. Hidroksilasi dari cincin aromatik diklorofenil menghasilkan 4′-hidroksidiklofenak dan 3′-hidroksidiklofenak. Konjugasi dengan asam glukoronat dan taurin biasanya terjadi pada gugus karboksil dari cincin fenil asetat dan konjugasi dengan asam sulfat terjadi pada gugus 4′ hidroksil dari cincin aromatik diklorofenil. 3′ dan/atau 4′-hidroksi diklofenak dapat melalui 4′-0. Metilasi membentuk 3′-hidroksi-4′-metoksi diklofenak.
4. Eliminasi (AHFS 2010, hal.2087 dan GG Ed.11, hal.698)
Diklofenak dieksresikan melalui urin dan feses dengan jumlah minimal yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Eksresi melalui feses melalui eliminasi biliari. Konjugat dari diklofenak yang tidak berubah dieksresikan melalui empedu (bile), sementara metabolit terhidroksilasi dieksresi melalui urin.
Selain Na Diklofenak ada obat-obat yang sudah terbukti dapat digunakan sebagai sebagai antiinflamasi diantaranya : aspirin, diflunisal, etodolax, fenilbutazon, tolmetin, peroksikam, ibuprofen, apazone.
Aktivitas antiinflamasi obat ditunjukkan oleh kemampuan obat mengurangi udema yang diinduksi pada telapak kaki hewan percobaan. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan bahwa tikus kelompok kontrol negatif yang diberikan PGA mengalami peradangan sebesar 50 %. Sedangkan pada tikus kelompok uji I dosis 10 mg yang diberikan Natrium Diklorofenak didapat hasil peradangan -25%. Pada tikus kelompok uji II Dosis 25 mg yang diberikan obat Natrium Diklorofenak, diperoleh hasil peradangan 71,43%. Pada tikus kelompok III Dosis 50 mg yang diberikan obat Natrium Diklorofenak diperoleh hasil peradangan 0%. Pada tikus kelompok IV Dosis 75 mg yang diberikan obat Natrium Diklorofenak diperoleh hasil peradangan adalah -7,728%. Persentase peradangan yang terjadi pada kelompok dosis II lebih besar dibanding persentase peradangan yang terjadi pada kelompok control, kelompok dosis I, kelompok dosis III, dan kelompok dosis IV. Dalam praktikum dosis II lebih besar daripada kelompok dosis control dikarenakan kesalahan dalam mencelupkan kakinya yang terlalu dalam dan kurangnya keteltitian. Selain itu, adanya aktivitas antiinflamasi pada Natrium Diklorofenak juga menunjukkan cara pemberian obat pada tikus yakni dengan cara oral telah dilakukan dengan baik sehingga Natrium Diklorofenak mampu memberikan efek antiinflamasi pada hewan percobaan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum penanganan dan penandaan pada hewan percobaan yang telah dilakukan dapat disumpulkan bahwa :
1. Efek dari pemberian karagenan lewat intraplanar terjadinya udem, dengan bertambahnya volume kaki tikus.
2. Mekanisme karagenan dengan merangsang lisisnya sel mash dan melepaskan mediator-mediator radang yang dapat mengakibatkan vasodilatasi sehingga menimbulkan eksudasi dinding kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang sehingga terjadi pembengkakan pada daerah yang diinduksi karagenan.
3. Efek antiinflamasi dari pemberian NA-Diklofenak mengurangi udem pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.
4. Inflamasi terjadi akibat reaksi antara antigen dengan antibody
5. Semakin tinggi dosis NA-Diklofenak terjadinya udem semakin kecil karena NA-Diklofenak dengan dosis tinggi dapat menginhibisi terjadinya udem lebih besar, dibandingkan dalam NA-Diklofenak dosis rendah.
B. Saran
Saran setelah melakukan praktikum pengujian aktivitas antiinflamasi pada hewan percobaan adalah praktikum harus dilakukan dengan teliti dan benar seperti pada saat pemberian sediaan, induksi larutan karagenan, ataupun pada saat pencelupan kaki dan pemb nmbvlucxtzi6ua37S4D5FOGUHIJKLacaan pada pletismometer.
DAFTAR PUSTAKA
B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ganiswara, S. G. (2005) Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Priyanto. 2008. Farmakologi dasar, edisi III. Leskonfi. Depok
Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta.
0 Response to "Laporan Uji Aktivitas AntiInflamasi Lengkap Docx"
Post a Comment